Abah Haji (Abuya Hanafi)

Kawan sepermainan saya di Halte tidaklah banyak. Penduduk Kampung Halte memang sedikit. Dalam waktu-waktu tertentu, kawan yang bisa diajak bermain adalah Dedi atau juga Imas. Namun, kalau diajak bermain di Al-Kautsar, mendekati Abah Haji, mereka menolak.

Keengganan kawan-kawan sepermainan saya tak sepenuhnya saya fahami selain karena alasan takut. Kalau pun nanti saya punya kawan yang tidak ‘terlalu takut’ mendekati Abah Haji adalah Sumawi –yang datang belakangan. Tapi, Sumawi pun hanya sesekali menemani bermain di Al-Kautsar. Wajar, rumah Sumawi di Pasirkupa, sebelum akhirnya ikut bermukim di rumah saya, Halte, atas saran ibunya, Ranis, yang memang sahabat ibu saya, Jarwinah.

Saya sering menjumpai Abah Haji duduk sendirian di teras Al-Kautsar seraya memandangi jalan panjang di hadapannya. Kalau pun ada paratua yang mendekat, itu karena dipanggil Abah.

Ramalan Kematian yang Menakutkan

Dulu, selain anak-anak seusia saya yang merasa takut, apakah paratua pun merasa takut sehingga tidak berani mendekati Abah?

Kini, seumpama puzzle, jawaban atas semua pertanyaan tersebut terkumpul satu per satu membentuk rupa utuh. Ketakutan paratua untuk berdekatan dengan Abah karena mereka takut diramal terkait kematian.

Nul, ka dieu – Nul, ke sini!” panggil Abah Haji yang tengah duduk bersila di atas kursi kayu panjang berwarna merah hasil bikinan Abah Sarin dan Abah Santaka, di teras yayasan.

Saya pun mendekat. Tidak banyak yang diucapkan selain isyarat Abah supaya saya duduk di sampingnya. Meski tidak apa-apa, saya menikmati kebersamaan itu, terutama melihat orang yang berlalu lalang di jalan dengan menunjukkan rasa hormatnya kepada Abah.

Sesaat Abah tertegun. Sekilas memandangiku sebelum akhirnya berkata lirih, entah ditujukan untuk siapa, “Jigisuk peuting bakal aya nu paeh di kampung ieu – besok malam akan ada yang meninggal di kampung ini!” Aku terkejut, tapi tidak berani bertanya, siapa yang akan meninggal. Terlebih setelah berita ramalan kematian itu menyebar. Ketakutan pun kian kental.

Besoknya, saya tidak berani ke luar rumah, takut mati. Bahkan, malam sesuai ramalan Abah, saya tidak berani tidur. Jangan-jangan yang diramal Abah akan meninggal itu adalah saya. Tapi, karena penat, akhirnya saya tertidur juga.

Pagi hari, saya bangun dengan perasaan gembira; tak bisa digambarkan. Ternyata saya masih hidup. 

Lantas, apakah benar semalam ada yang meninggal sesuai ramalan Abah? Benar, dan yang meninggal di kampung kami saat itu adalah Ibu Nawi, mantan istrinya Abah Main. (Bersambung)