Suasana Kampung Halte, Pasirmanggu, Tahun 2016

Kampung Halte, Pasirmanggu

Kampung Halte, Pasirmanggu, bukanlah kampung besar. Deretan rumah yang ada di kampung itu bisa dihitung dengan jari. Anak-anak yang seusia dengan saya pun tidak banyak. Waktu bermain pun terbatas. Saat yang tepat untuk berkumpul dengan beberapa kawan hanyalah ba’da magrib, saat pengajian anak-anak yang dipimpin Ibu Jarwinah dimulai, di sebuah ruangan Yayasan Al-Kautsar 70-an, dengan menggelar tikar jerami dan bercahayakan ‘lampu totok- lampu yang bersumbu dengan wadah dari kaleng susu, berisikan minyak tanah--’. Setelah itu bubar, kembali ke rumah masing-masing.

Saya tidak ingat, kapan Yayasan Al-Kautsar yang foto Tahun 70-annya terpampang di blog ini direnovasi. Ingatan saya kemudian melompat ke suasana Yayasan Al-Kautsar yang sudah dilengkapi masjid di ruang sebelah Barat. Pada suasana Yayasan Al-Kautsar baru itulah saya merasa banyak berinteraksi dengan Abah Haji. Bila magrib menjelang, meski masih anak-anak, saya bergegas masuk masjid dan mengumandangkan azan. Hanya beberapa jamaah 'reguler' yang hadir setiap magrib. Abah Haji, Abah Jaman, Ka Anen (Sarnen – paman), Abah Rapi, Abah Jasmar (kakek), Ka Bili (Sublili - paman), Ka Upi (Sayupi – paman) dan beberapa jamaah laki-laki lain yang saya lupa. Sedangkan jamaah perempuan ada Ibu Rawi, Ibu Teteh (istri Abah Haji), Ibu Enah (Jarwinah – ibu), Ibu Ool (Jasiah – bibi), Te Inol, dan beberapa yang lainnya. Jadi, seumpama perguruan silat dengan pengelompokkan usia, saya tidak memiliki saudara seperguruan. Karena tidak memiliki saudara seperguruan yang seusia itulah, saya menjadi obyek pelengkap para murid senior.

Tahun 80-an, selain karena rumah kami saat itu paling dekat dengan Yayasan Al-Kautsar; bergendengan, kurangnya kawan bermain menyebabkan saya selalu dekat dengan Abah Haji –karena tempat favorite Abah Haji di siang hari, duduk di kursi panjang teras yayasan-- meski tidak seorang pun kawan sepermainan yang menemani, karena berasumsi Abah Haji itu galak. Kalau pun ada yang berani duduk bareng dengan Abah Haji, hanyalah bibi, Bai Nasiroh.

Pelajaran tentang Makmum dan Imam

Suatu magrib, meski saya sudah mengumandangkan azan (tanpa pengeras suara – speaker), jama’ah magrib belum datang. Saya dan Abah Haji duduk menunggu. Akhirnya, Abah Haji berdiri –saat itu Abah Haji masih sehat, belum menggunakan tongkat--. “Qamat, Nul!”

Usai iqamat, beliau maju beberapa langkah menuju tempat imam.Perlahan ia menuntun saya untuk berdiri hampir berdampingan di sebelah kanannya.

Disaat salat magrib sudah dimulai, barulah para jamaah ‘reguler’ berdatangan. Mereka berdiri di belakang saya mengikuti rangkaian salat magrib.

Usai salat, Abah Haji menoleh ke belakang. Didapatinya para jamaah duduk di belakang saya yang saat itu masih berada di sebelah kanan Abah Haji.

“Hei, mengapa kalian membuat shaff baru. Kunaon si Zaenul teu ditarik ka buri – mengapa si Zaenul tidak ditarik ke belakang?” tanya Abah Haji. Para jamaah hanya terdiam, “Harusnya, kalian tarik Zaenul ke belakang. Jadikan satu baris dengan kalian,”

“Si Zaenulnya nggak mundur, Bah!” Ka Anen berusaha membela diri.

Mendengar jawaban itu, nada Abah Haji meninggi, “Si Zaenul itu anak kecil. Bocah. Tidak mengerti apa-apa. Kalian yang sudah tua seharusnya faham bagaimana memosisikan barisan ketika makmum hanya sendiri dan makmum sudah banyak,”

Akhirnya, ba’da magrib, semua tidak ada yang pulang, tapi mendengarkan penjelasan Abah Haji terkait posisi makmum dan imam dan cara-cara mengingatkan makmum yang sendirian untuk bergabung dengan shaff baru, apabila makmum sudah lebih dari satu.*