Yayasan Al-Kautsar Pasirmanguu Tahun 70-an

BILA pertanyaan di atas ditujukan kepada saya, empat puluh tahun lalu, tak mungkin bisa dijawab. Namun bila pertanyaan empat puluh tahun lalu itu tentang Abah Haji –demikian saya memanggil KH. Hanafi, pendiri Yayasan Al-Kautsar Pasirmanggu— pasti saya ceritakan tiada henti, meski akhirnya ketidakhentian cerita saya mengerucut dan berakhir pada satu kalimat, ‘Selain ibu saya, Abah Haji adalah orang terbaik di dunia’.

‘Baik’ dalam pandangan anak usia 8 tahunan adalah baik tanpa rekayasa. Baik karena tidak ‘jahat’. Baik tanpa harus ditunggangi ‘hidden agenda’.

Bukan untuk dibandingkan, tapi sekadar memberi persandingan makna ‘baik’ bagi anak-anak -ketika Sang Kakek saya (Allahu Yarham) datang mengejar dengan menggenggam sepotong bata merah untuk dilempar ke arah saya, ibu datang menghadang dan Abah Haji menjadi penenang-.

Semisal, kebaikan lain; saat masih menjadi anak TK Al-Kautsar (1974), ketika tangis menyeruak mewakili marah, sedih, dan kecewa, pemilik suara khas itu bertanya, “Win, kunaon si Zaenul ceurik – Win, kenapa si Zaenul nangis?” tanyanya.

Manuk inguana didahar ku meong, Bah – Burung peliharaannya dimakan kucing, Bah?” jawab ibuku, Jarwinah, yang biasa dipanggil ‘Win’ oleh Abah Haji.

“Geus ulah ceurik. Yeuh, duit. Meuli deui manukna – Udah nggak usah nangis. Nih, uang. Beli lagi burungnya,” ujar Abah Haji seraya memberi saya sejumlah uang yang sontak membuat saya menghentikan tangisan.

Jadi, ketika banyak yang menyimpulkan Abah Haji itu galak, --seperti asumsi kawan-kawan sepermainan dulu--, kini saya bisa memahami,  bagi saya ‘galak’-nya beliau adalah reaksi atas sebuah aksi. Apalagi bila aksi yang memancing reaksi tersebut adalah tindakan yang melanggar nilai dan prinsip yang beliau anut dan berlakukan. Karenanya, saya sanggup bersaksi untuknya bahwa Abah Haji itu baik.

Baik, buruk, jahat, ramah, atau galak, memang situasional dan tergantung sudut pandang. Namun di tempat saya berdiri, di tempat saya bersaksi, di tempat saya mulai bisa menimbang mana baik dan mana jahat, saya tidak menemukan ketidakbaikan itu pada diri Abah Haji, bahkan sampai Abah Haji meninggal dunia, saat sujud dalam salat subuh di rumahnya, Tahun 1983, di usia saya yang memasuki tahun ke-13. (Bersambung)