1. Abuya Hanafi, 2. Ust. Taufiq, 3. H. Oreg


Nama yang saya sandang, Zaenul Muttaqien, adalah nama pemberian Abah Haji Hanafi –kata ibu. Nama keramat yang kemudian dilengkapi ludahnya yang keramat. Ya, ludah. Ludah yang tidak saya sertakan tanda petik dalam penulisannya –-yang bermakna tidak ada pengertian lain.

Konon, suatu hari ketika saya dalam gendongan ibu, Abah Haji memanggil, “Win, coba bawa si Zaenul ka dieu – Win, coba bawa si Zaenul ke sini!” Ibu menurut, “Coba buka mulutnya!” perintah Abah Haji sejurus kemudian.

Sang Ibu kaget, spontan bertanya, “Untuk apa, Bah?”

“Udah jangan banyak tanya!” pintanya.

Ibu kemudian menurut. Mulut kecil saya dibuka. Tanpa diduga, Abah Haji memasukkan ludahnya yang bercampur dahak ke dalam mulut saya.

Supaya naon eta, Bah – Supaya apa itu, Bah?” Bercampur kaget, ibu bertanya penasaran.

“Supaya calakan, pinter, jalinger, jeung bener!”

Setelah tahu saya diludahin, banyak ibu-ibu yang memiliki anak kecil minta supaya mulut anaknya juga diludahin Abah Haji. Namun, Abah Haji tak pernah berkenan. Yang sezaman dengan saya, tak ada satu pun anak-anak yang diludahin. Ibu sempat berkata, “Nu kitu mah ulah dipenta, kumaha Abah bae – Yang seperti itu jangan diminta, terserah Abah saja!”

Terkait ludah ini, setelah dewasa, seorang teman memaksa saya untuk ikut diterawang oleh seorang dukun melalui garis tangan. Yang mengejutkan, setelah Sang Dukun menggenggam tangan kanan saya, melihat ‘Kaca Benggala’ yang dimilikinya, dia berkata, “Gelap. Tak terlihat. Tak ada yang bisa dibaca. Ada ilmu yang menghalangi, yang sudah menjadi darah daging,” jelas Sang Dukun membuat sejumlah kawan-kawan kuliah saya saat itu terkesima. Pun ... saya.

 

Pembelajaran Nilai, Prinsip, dan Kemestian

Setelah kesehatan Abah Haji menurun, beliau harus ditemani tongkat untuk menopang tubuhnya saat berjalan. Salatnya pun tidak lagi berdiri, tapi duduk.

Di dalam Masjid Al-kautsar, telah disiapkan kursi kayu panjang, khusus untuk salat Abah Haji. Diletakkan di sebelah utara ruangan, dekat jendela.

Setiap salat magrib, kini Abah Haji lebih banyak menjadi makmum. Sementara yang menjadi imam adalah Ka Anen (Sarnen).

Karena gugup pertama kali mengimami Abah Haji, Ka Anen memanjangkan bacaan tahiyat akhir. Tahiyat akhir yang sangat lama seolah membuat Abah Haji gusar, sebab beberapa jenak kemudian beliau salam mendahului imam, “Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh ... “

Mendengar Abah Haji salam duluan, barulah imam pun menutup salat dengan salam.

Ari dia kunaon tahiyatna kebel amat. Sampe aing ngabatalkeun salat berjamaah, – Kamu kenapa tahiyatnya lama sekali. Sampai saya harus membatalkan salat berjamaah?”

“Saya nunggu Abah, khawatir belum selesai tahiyat akhir!” jawab imam salat.

“Kamu salat mau beribadah kepada Allah atau mau beribadah kepada nafsu? Salat itu jangan ada pemikiran lain yang menyertai. Berarti selama salat, pikiranmu bukan kepada Allah!” ujar Abah Haji.

*

Jamaah reguler yang biasa salat magrib, berbanding terbalik dengan salat Jum’at. Ketika salat Jum’at, jamaah membludak. Dari sejumlah pelosok kampung datang untuk mengikuti salat Jum’at di Masjid Al-Kautsar. Ada yang dari Panyaweuyan, Pamatang, Cirangkong, Kadupugur, Pasirmenyan, Koprah, Pasirmanggu, Pasirkupa, Rancahau, Rancadadap, bahkan dari Jambu, Pamarayan, Serang, Rangkas, dan Karanghantu.

Muazin yang sering mengumandangkan azan adalah Ka Elah (Salahudin Hanafi) dan sahabatnya (sengaja nama tidak dimunculkan), keduanya sama-sama memiliki suara yang merdu. Suara Ka Elah seperti muazin di TVRI; renyah dan mendayu.

Namun suatu ketika, sahabat Ka Elah berdiri untuk mengumandangkan azan. Spontan Abah Haji dari atas mimbar Jum’at mencegah, “Ulah dia – jangan kamu!”

Sang Sahabat itu pun kembali duduk. Akhirnya, Ka Elah yang tampil sebagai muazin.

Yang tidak dimengerti --dalam benak kecil saya saat itu—bukankah sahabat Ka Elah juga, di awal-awal sering jadi muazin dan tidak dilarang. Tapi mengapa hari ini dilarang.

Kejadian tersebut terulang sampai (mungkin) tiga Jum’at, sehingga akhirnya sahabat Ka Elah itu pun tidak lagi berani berdiri untuk azan setiap kali Abah Haji jadi Khatib Jum’at.


Ketika Nilai Manusia Lebih Rendah dari Binatang

Setiap malam minggu, Abah Haji mengadakan pengajian mingguan di Yayasan Al-Kautsar, tepatnya di ruangan yang kemudian dijadikan Taman Kanak-Kanak.

Setiap pengajian Abah Haji, saya pasti ikut. Bukan karena saya haus ilmu, tapi karena setiap pengajian itu, ibu harus hadir untuk menjadi juru tulis pengajian Abah Haji. Saya pun ... ‘terpaksa’ ikut.

Seingat saya, ada satu buku yang selalu dibawa Abah Haji dalam setiap pengajian, namanya Fathurrahman.

Setelah melihat Fathurrahman itu, Abah Haji meminta ibu untuk menuliskan ayat Al-Qur’an di papan tulis. Selesai ditulis, barulah Abah Haji membahas ayat dimaksud.

Kini, saya baru tahu, ternyata Fathurrahman adalah indeks untuk mencari dan menemukan ayat-ayat Al-Qur’an.

Hampir di setiap pengajian, Abah Haji menggunakan istilah ‘bangkong’ atau nama-nama binatang lainnya seperti kerbau atau anjing. Ternyata, kata ibu, Abah Haji sedang membahas ayat bahwa terkadang manusia itu lebih rendah dari binatang, ‘Kalan’am balhum adhal’ – Mereka seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat – QS. Al-A’raf ayat 179.

Menurut Allah Swt., melalui penyampaian keilmuan Abah Haji, tak banyak manusia yang bernilai manusia. Sepertinya, untuk memanusiakan manusia butuh tindakan behavioral dan ‘ketebalan mental’ demi merealisasikannya. Pada situasi itu, terkadang seseorang memerlukan tempat yang sunyi, namun terkadang memerlukan tempat seperti ‘areal pantai’ hanya sekadar bisa berteriak sekeras-kerasnya membuncahkan perasaan yang terpendam.

Abah Haji dihadapkan kepada pertarungan nilai,  prinsip, dan kemestian. Pertarungan nilai, prinsip, dan kemestian Abah Haji boleh jadi disebabkan karena belum ditemukannya manusia terpilih sesuai kriteria Allah dalam pandangan Abah Haji.

Di suatu Jum’at, beban terpendam itu terbuncahkan, meski pelan. Syahdan, Abah Haji naik ke atas mimbar seperti biasa untuk khutbah. Tapi sesaat kemudian beliau berbalik kembali turun dari mimbar, tak jadi menjadi khatib seraya berujar, “Piraku aing kudu ngomong ka bangkong – masa saya harus berbicara kepada bangkong,”

Hal lain, ketika saya menemaninya duduk di teras yayasan, dari ujung jalan; melewati rel kereta api, terlihat seorang lelaki mengendarai motor mendekati areal jalan di depan Yayasan Al-Kautsar. Melihat itu, sontak Abah Haji berteriak, “Iiiiibbbb ... Naiiiibbbb ..... ka dieu. Naiiiibbb .... ka dieu!”

Saya lihat, lelaki itu membelokkan motornya, mendekat ke arah kami duduk, “Punten, aya naon, Bah. Abah peryogi ka abi – Maaf, ada apa, Bah. Abah perlu kepada saya?” tanya lelaki itu membungkukkan badan di hadapan Abah Haji.

Saha nu ngagerokeun kumaneh – siapa yang memanggil kamu?” Abah Haji balik bertanya.

“Tadi Abah saya dengar memanggil. Naib ... Naib,”

“Saya, mah, bukan memanggil kamu. Saya memanggil anjing saya, namanya Naib!”

Wajah lelaki itu memerah menahan malu. Perlahan ia undur diri dari hadapan kami, meneruskan perjalanan dengan sepeda motornya.

Setelah dewasa, saya bisa mengerti. Saat itu Abah Haji membutuhkan tempat seperti ‘areal pantai’ untuk berteriak membuncahkan perasaannya ... secara lebih nyaring.

Pun, setelah dewasa pula, andai kini ada yang bertanya, Apa yang Anda Tahu Tentang Al-Kautsar? Maka saya bisa jawab, Al-Kautsar adalah keramat. Karomah Abah Haji yang harus dijarumat, diraksa jeung diriksa. Titik. *